Dibalik korden jendela kamar atas, Fizha mengintip suasana malam itu. Hening sekali. Tak satu orangpun lalu- lalang terlihat olehnya. Sekilas rasa sedih terlintas di benaknya. Dalam hatinya berkata, “mengapakah aku berbeda dengan Rifha ?”. Tetapi sejenak lamunannya terhenti ketika sang Mama memanggil namanya dari luar kamar. Ternyata Mamanya hanya memastikan keadaan buah hatinya itu.
Disisi lain, Rifha bersama teman- temannya sedang asyik bermain PS yang terletak di Jalan Darmo dekat sekolahannya. Rifha dan teman- temannya selalu datang ke tempat ini ketika mereka tidak menemukan tempat yang asyik lagi untuk nongkrong. Di tengah kesibukannya memencet- pencet joystick, Rambo menanyakan sesuatu pada Rifha, “heh, kamu nggak malu apa, sama saudara kamu itu ? Yang anaknya lemah lembut itu ! Siapa namanya ? Aku lupa ?”
“Fizha maksudmu ? Hah ? Malu ? Kenapa harus malu ? Nggak aku nggak malu. Sama saudara sendiri kok malu ?”Jawab Rifha dengan entengnya.
“Bukan begitu Fha..! Kamu keluar- keluar gini apa nggak takut juga ? Emangnya Mamamu nggak pernah nanyain kamu apa kalu pulang malam terus ?” Balas Rambo.
Mendengar celoteh temannya, Rifha menghentikan permainannya. “jujur aku nggak tega kalau musti seperti ini di depan Fizha. Aku takut Fizha berpikiran aneh tentang penyakitnya !” Demikian jawaban Rifha. Dengan rasa penasarannya, Rambo terus menanyai Rifha, ”maksudmu gimana sich ? Aku nggak ngerti !”
“Aduh Mbo ! Bodo banget sich kamu jadi anak ! Masa’ nggak ngerti- ngerti ?”Keluh Rifha yang mulai risih dengan pertanyaan- pertanyaan Rambo. Rambo hanya diam dan menggelengkan kepalanya.
“Dia pernah bilang, aku nggak boleh ikut sedih karena penyakitnya. Aku harus tetap seperti dulu. Menjadi Rifha yang ceria. Karena hanya ini yang bisa membuat Fizha bahagia. Maka dari itu, aku selalu tingkahkaya’ gini terang- terangan di depannya.”Jelas Rifha.
***
Pagi harinya Rifha sudah tampak rapi dengan seragamnya. Begitu pula dengan Fizha. Dengan tampang yang sedikit tomboy, Rifha senyum pada Fizha untuk mengawali pagi yang indah ini. Tak lupa Fizha membalas senyuman itu pada Rifha dan kepada kedua orang tua mereka. Suasana damai sangat terasa bagi Fizha.
Sesampainya di sekolah, tiba- tiba seorang cowo’ menabrak Fizha. Fizha sungguh terkejut hingga ia jatuh pingsan seketika. Rifha benar- benar bingung apa yang harus dia lakukan. Arda yang merasa bersalah langsung saja menggendong Fizha untuk di bawanya ke UKS. Di luar UKS Rifha marah besar pada Arda. Tak disangka- sangka, tatapan mata Rifha yang tajam, mengena penuh di bola mata Arda. Sungguh itu adalah tatapan penuh cinta menurut cowo’ se-ganteng dan se-keren Arda. Dengan cepat, Rifha mencoba berpaling darinya dan terus memarahi Arda. Tetapi sekali lagi Rifha tak bisa mengelak bahwa ia sebenarnya juga mempunyai tatapan yang sama kepada Arda.
***
Malam ini tak dilakoni Rifha seperti biasanya. Ia terus memikirkan tatapan indah yang sempat menyentuh hatinya. “Kenapa aku jadi kaya’ gini sich ? apa… ? aku jatuh cinta ? hah !!! tidaaaaaaaaaaaaaaakkkk…!!! Aku nggak boleh jatuh cinta sama cowo’ kaya’ gitu. Apa lagi dia udah buat Fizha pingsan kaya’ tadi ! nggak, pokoknya nggak !!!!” teriak Rifha dalam batinnya.Perasaan kaget dan sedikit rasa senang balik dirasakan oleh Fizha. Rupanya ia sedang merasakan sesuatu yang orang bilang itu cinta. Tapi apa semudah itu Fizha menemukan cintanya ? pada siapa ? lalu apa yaang ada di fikirannya sampai ia seperti itu ? renungan yang dilakoninya malam ini tak seperti biasanya. Jauh lebih lama. Sebentar- sebentar ia tersenyum. Dan senyuman itu tanpa sebab. ia coba berfikir, apa cowo’ itu yang jadi pusat pemikirannya malam ini ? kalau memang iya, beruntung sekali coowo’ itu karena ia merupakan cinta pertama dari seorang pribadi Fizha.
Menoleh ke arah kanan, ia lihat jarum pendek jam sudah menunjuk ke arah angka 1, itu artinya hari sudah pagi, dan Fizha belum juga tertidur. Ia coba buka Diarynya yang terselip di antara buku- buku bacaan miliknya. Buku diary itu sudah terlewat empat catatan terhitung mulai tanggal 12 November 2008 sampai 15 November 2008 karena pada saat itu ia terbaring lemah di rumah sakit. Ini bukan yang pertama kalinya Fizha melewatkan catatannya. Ia sudah sering kali membuang kertas kosong di buku Diarynya hanya karena ia tidak mau hari- harinya tergantikan oleh hari- hari yang lainnya. Jika ia tak bisa menulis pada hari itu, lembarannya ia tulis alasan mengapa ia tak mengisinya. Dan kini, ia mulai menggerakkan jemarinya untuk mengisi halaman terakhir yang masih kosong di diary itu.
Puas menggoreskan tinta pada lembaran barunya, iapun tidur. Ia tidur dengan damai, dengan ditemani suasana malam yang hangat.
***
Rifha masih tak percaya bahawa hatinya ternyata menyukai seseorang yang telah membuat adiknya sakit seperti kemarin. Tapi inilah kenyataannya. Ia jatuh cinta kepada Arda. Rasa ini semakin kuat ia rasa ketika ia tak sanggup menahan rasa ingin bertemu Arda.Tak kuat menahan rasa itu, ia pamit pada Fizha untuk pergi meninggalkannya.
Rifha berdiri di depan kelas Arda. Dan ia mencoba berpikir apa yang akan ia bicarakan nanti pa Arda. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Arda terlihat menawan dengan menggunakan jamper warna hitam berhias bordiran putih abu- abu.Rifha semakin bingung. Perasaannya tidak karu- karuan.
Tiba- tiba, betapa terkejutnya ia saat ia melihat Arda berbelok arah. Ditambah lagi Arda berbelok arah untuk menemui Fizha, saudara kembarnya. Rasa tak percaya ia dapati seketika. Tetapi ia coba berpikir positif. Ia tak mau berpikiran buruk terhadap saudara kembarnya itu.
***
Siang itu, Mama dan Papa si kembar sedang pergi ke luar kota. Tinggal mereka berdua yang ada di rumah. Suntuk di rumah, Rifha memilih pergi keluar untuk berkumpul dengan teman- temannya. Ia ingin melupakan prasangka buruknya terhadap Fizha.Di ruang tengah, ternyata Fizha sedang duduk-duduk santai sambil melihat acara televisi yang ia sukai. Tiba- tiba, Fizha berpikiran untuk curhat pada Rifha tentang perasaannya pada Arda.
Di depan kamarnya, Rifha terlihat sedang sibuk merapikan ikat pinggangnya. Ia sudah sangat rapi, hanya ikat pinggangya saja yang masi semrawut.
“kamu mau kemana Fha ?” tanya Fizha. menatap mata Fizha yang sayu, hatinya luluh. Yang semula ia agak kesal, sekarang sudah sedikit tenang. “a..a..aku mau keluar sebentar”, jawab Rifha. Dengan tenang, Fizha bertanya lagi, “kemana ? lama nggak ? kalau nggak lama, aku akan tunggu. Tapi kalau lama, yaa besok ajah laaah…!”
“emang mau ngapain kamu ?”
“aku cuman pingin cerita- cerita ke kamu. Udah lama kan, kita gak kumpul- kumpul bareng trus cerita- cerita kaya’ dulu ?”terang Fizha.
Mendengar saudaranya berbicara serius, Rifha sedih juga. Pintu kamarnya di buka kembali, dan mempersilakan Fizha masuk ke kamarnya.
“kamu mau cerita apa ?”tanya Rifha.
“emm, kaya’nya, aku lagi jatuh cinta deh Fha..!”
Dengan sangat terkejut Rifha menjawab, “ehm, dengan siapa ? beruntung sekali laki- laki itu ?”
Dengan tersenyum manis Fizha mencoba menjawabnya, “pasti kamu tau kok Fha ! dia, orang yang nabrak trus gendong aku kemarin !”
Rasanya Rifha sudah tak sanggup lagi menahan rasa sakit hatinya itu, sakit sudah pasti ia dapati. Air mata rasanya sudah tak bisa terbendung lagi oleh rasa sakit itu. Tapi ia coba menahannya. Ia tetap mencoba memahami keadaan adiknya. Sangat berat ia berkata, “aku bahagia kalau kamu juga bahagia Zha.. semoga Arda memang cowo’ yang ditakdirkan untuk membuatmu bahagia.”
Kejanggalan dirasakan oleh Fizha oleh raut muka Rifha yang mendadak gelap dan sangat tidak bersemangat. Tapi ia tetap tersenyum oleh jawaban Rifha. Semoga memang benar apa yang dikatakan oleh Rifha dan kejanggalan yang dirasakan Fizha tak terbukti adanya.
Setelah adiknya meninggalkan kamarnya, tak terasa air mata itu jatuh. Mungkin karena air mata itu terlalu banyak, jadi bendungan itu pecah hingga membuatnya keluar. Pintu dikuncinya rapat- rapat. Berharap tidak ada orang yang melihatnya menangis. Sungguh kecewa sangat dirasakan oleh Rifha. Tetapi dia akan coba relakan demi kebahagiaan adiknya di sisa hidupnya ini. Ia tidak mau adiknya menghabiskan masa hidupnya yang mungkin tak lama lagi ini hanya untuk bersedih dan menangis.
***
Di tengah kesibukannya belajar, hp kesayangannya berbunyi. Ternyata sms dri sang pujaan hati.“hai Fizha, ini Arda. Lagi apa sekarang ? eh, aku ada perlu ama saudara kembarmu. Boleh aku minta no hp.nya ? bls cpt”, isi smsnya.
Jelas sekali Fizha bingung. Secara tiba- tiba Arda sms pingin minta no hp kakaknya. Ada apa ? tapi Fizha tetap berpikir positif. Mungkin memang ada perlu mendadak tentang sesuatu yang ia tak tahu.
“iya, ini no hpnya 085651234567. Memangnya ada apa sih kalau boleh tau ?”
“ngga ada apa- apa. Aku ada perlu aja sama dia. Makasih ya…”
“iya, sama- sama. By the way, kamu lagi apa sekarang? Ngga belajar ? mata pelajaran kamu besok apa aja ?”
Di kamar yang lain Rifha masih disibukkan dengan air matanya itu seketika dibuat kaget oleh suara hpnya dengan sms orang yang tak dikenalnya menanyakan keadaannya. Dalam keadaan yang kalut, ia bercerita tanpa tahu siapa orang yang diajaknya cerita. Tetapi ia tidak menggunakan nama melainkan inisial saja. Ia bercerita dengan tanpa sadar dengan air mata yang mengalir deras di pipinya. Betapa bahagia hatinya mendengarkan tuturan lembut orang yang tak dikenalnya itu. Kata- kata itu benar- benar menenangkan kerisauan hatinya.
Setiap malam ia selalu merindukan sebuah wajah misterius itu. Tidak hanya malam itu, sampai kinipun ia masih sering berhubungan lewat telefon dengan laki- laki itu.
Begitu pula Arda, ia tak mau dulu mengatakan bahwa ia adalah Arda. Karena ia pikir, mungkin Rifha akan marah karena setiap kali ia bertemu Rifha, Rifha selalu mencoba mengalihkan pandangannya seakan- akan ia benci terhadap Arda. Tetapi kali ini ia berpikir, “apa Rifha ngga kasihan kalau dia terus- terusan hidup dalam bayangannya? Dia cuma bisa merasakan bahagia lewat dunia yang tak nyata. Kasihan sekali !” di lain hal dia juga berpikir tidak akan bisa dekat dengan Rifha, dan mendengarkan keluh kesah Rifha seperti sekarang ini. Ah, tapi kebahagiaan Rifha lebih penting. Arda akan mendahulukan apa yang di inginkan oeh Rifha, yaitu bertemu dengannya.
Diambilnya HP dengan merek terbaru itu dari meja di sebelah kanan jendela tempat ia duduk sekarang, dismsnya ia tuliskan, “besok pulang sekolah aku tunggu di taman belakang sekolah. Kamu akan tau aku. Sekalian aku pingin ngomong penting banget ama kamu.”
***
Rifha senang sekali akhirnya siang ini ia akan bertemu dengan teman mayanya yang sudah seperti bagian dari hidupnya sekarang.Ketika lonceng terakhir berbunyi, ia bergegas menuju ke tempat yang sudah di janjikan. Tiba- tiba Fizha menegurnya, “Fha kamu mau kemana ? ngga pulang ? aku jadwalnya chek up lho sekarang. Kamu ngga mau anterin aku ?”
“ehm Zha, maaf yah, aku ada janji ama seseorang. Kaya’nya aku telat eh ntar ! kamu berangkat sendiri ajah yah sama Pak Kin. Nanti kalau udah selesai chek up, kamu sms sku, apa kata dokter. Yah ! gak pa-pa kan ?” jawab Rifha. Tanpa mendengarkan celotehan adiknya lebih lama lagi, Rifha pergi.
Sesampainya di tempat itu, tak dijumpainya seorangpun di sana. Dengan sabar ia duduk menanti teman mayanya itu. Tak lama kemudian, seseorang menyodorkan sebuah bingkisan dari belakang. Spontan Rifha menoleh ke belakang. Sungguh terkejut Rifha dibuatnya.
Benar apa yang dipikirkan oleh Arda, Rifha akan marah dan pergi meninggalknannya begitu saja. Tapi ia tak tinggal diam. Ia kejar Rifha dan ia genggam tangan lembut Rifha untuk diajaknya ngomong dengan baik- baik. Rifha berusaha melepaskan tangannya dari genggaman Arda. Tapi Arda malah berteriak, “aku ngga amu lepasin tangan kamu sebelum kamu mau maafin aku dan kamu tau betapa aku mencintai kamu Fha !”
Rifha tak sanggup berkata- kata. Ia hanya bisa terdiam mendengar kata- kata indah itu.
HP berbunyi mengganggu suasana manis itu. Ternyata sms dari Fizha, “Fha, dokter bilang, sel kanker yang tumbuh di otakku kini bertambah parah. Di tambah lagi supply darahku sudah mulai berkurang karena ada sel kanker lagi dalam darahku. Apa ini udah pertanda kalau usiaku sudah ngga lama lagi ? aku ngga sanggup Fha menahan rasa sakit yang mematikan ini !”
Rifha terus diam dan sekali lagi ia tatap penuh mata Arda. Sesak dadanya dirasakannya. Orang yang dipujanya dan adiknya, ternyata balik memujanya. Ia tak kuasa menahan jeritan hatinya. Spontan pula ia berteriak, “aku juga sangat menyayangi kamu Arda, tapi adikku lebih membutuhkan kamu daripada aku ! aku sangat menyayangi adiikku lebih dari aku menyayangi kamu. Jadi, kalau kamu memang benar- benar menyayangi aku, turuti permintaanku ! sayangi adikku seperti kamu menyayangi aku. Anggap adikku itu adalah aku. Bahagiakan dia di sisa hidupnya ini. Pliz Da, lupain aku untuknya !”
Kata- katanya cukup menyakitkan bagi Arda. Sekalipun mereka kembar, tapi hati mereka tidak kembar. Mereka punya jalan hidup masing- masing. Dan bagi Arda cintanya tak bisa dipaksakan. “okay kalau memang itu maumu. Aku akan jalani meskipun sebenarnya aku sama sekali tak mencintai adikmu. Aku lakukan semua ini hanya untkmu, orang yang aku sayang. Tapi please, terima kado ini. Anggap ini sebagai kenang- kenangan dariku, orang yang benar- benar mencintai kamu!”
Tanpa berucap sepatah katapun, Rifha pergi dengan membawa kardus kotak berlumur kertas kado itu.
Sesampainya di rumah, ia buka kotak itu. Ternyata sebuah sapu tangan bertuliskan nama “Rifha-Arda” dan sebuah bantal hati dengan ukiran nama yang sama, hanya saja berbentuk singkatan “Rida”. Air mata tak berhenti mengalir. Ia ambil HPnya dan ia tulis sebuah kata permintaan maaf untuk Arda karena tak bisa membalas perasaan Arda terhadapnya.
***
Sudah dua minggu lebih Rifha tak berhubungan dengan Arda, dan pagi ini, ia dibuat kaget karena Arda sudah menanti di depan rumah untuk menjemput Fizha. sama sekali Rifha tidak iri dengan adiknya itu. Karena memang itu pilihannya.Sore harinya, Fizha masuk kamar Rifha berniat membersihkan kamarnya. Tiba- tiba sebuah sapu tangan terjatuh dari meja belajar Rifha. Diambilnya dan kemudian ditaruhnya ke dalam laci bawah meja. Sesekali ia ingat ada bordiran berwarna merah. Dengan rasa penasarannya diambil kembali sapu tangan itu dan dibuka perlahan- lahan. Fizha tak pernah menyangka semua ini akan terjadi. Ternyata Rifha menyukai sosok orang yang dipujanya. Kemudian diliriknya sebuah bantal hati berwarna merah hati di samping bantal-guling di kasur Rifha. Terpampang jelas nama “Ridha”. Sakit pasti ia rasa.
Segera ia berlari dari kamarnya dan ia ambil bantal untuk bersandar. Air matanya tak berhenti mengalir. Segera saja ia ambil buku diarynya. Ia tuliskan semua hal yang ada di fikirannya. Tiba- tiba darah mengalir dari hidungnya. Secepatnya ia ambil sejumlah tisyu dan sapu tangan miliknya untuk mengusap darahnya. Hal itu ia lakukan sambil menulis. Seusainya menulis, ia coba diam sampai akhirnya ia tak sadarkan diri.
Hingga malampun tiba, Rifha tak kunjung melihat adiknya keluar kamar. Mamanya juga sedikit khawatir dengan buah hatinya itu. Dengan membawa segelas susu dan beberapa roti dengan selai kacang kesukaan Fizha, mamanya membuka kamar Fizha. sungguh terkejutnya ketika ia mendapati Fizha tergeletak dengan hidung yang berlumuran darah. Segera mamanya memanggil semua orang yang ada di rumah untuk membawa Fizha ke rumah sakit.
Di depan ruang ICU itu semua yang menunggui Fizha tampak sedih dan panik. Do’a tak henti- hentinya dipanjatkan untuk keselamatan Fizha. Rifha yang panik akhirnya menemukan ide meminta tolong Arda ke rumah sakit. Sesampainya Arda di depan ruangan Fizha, dokter keluar dari ruangan itu. Rupanya dokter ingin menyampaikan apa yang diinginkan oleh Fizha yaitu melihat wajah semua orang yang ia sayangi untuk terakhir kalinya.
“semuanya, Fizha ingin bilang. Kalau Fizha sayang sama kalian semua. Fizha minta maaf jika selama ini Fizha berbuat salah sama semuanya terutama buat mama dan papa. Makasih buat semuanya udah mengisi kebahagiaan di sisa hidup Fizha. sekarang saatnya Fizha minta do’a kalian agar Fizha bisa menutup mata Fizha dengan tenang.”ucapnya
“sayang, kamu ngga boleh ngomong seperti itu…!”ucap mamanya dengan lembut.
“Zha, kamu pasti bisa kok ! kamu kuat ! Hafizha dan Arifha satu untuk selamanya. Kamu pasti masih kuat kok…!”yakin Rifha.
“ya, aku kuat. Aku pasti berusaha. Dan jika setelah ini aku pergi, tolong kalian juga kuat. Jangan menangis ! cukup do’akan aku dengan senyuman kalian !”
Setelah berucap demikian, Fizha sudah tak bernafas lagi. Semua yang ada saat itu tak kuasa menahan perasaan.
Esok paginya, prosesi pemakaman Fizha berlangsung. Semuanya menangis saat menatap batu nisan bertulisan nama “Hafizha Mutiara Sukma” berdiri kokoh di atas gundukan tanah. Rifha yang merasa tak mampu menjadi saudara yang baik terus memeluk batu nisan itu. Saat itu juga, mamanya memberikan sebuah buku diary kepada Rifha. Dibacanya coretan dengan sedikit tetesan darah Fizha itu dalam keadaan yang benar- benar sedih. Rifha sungguh tak tahan ketika membaca kalimat terakhir yang ditulis Rifha.
“kenapa baru aku sadari bahwa saudaraku yang paling aku sayangi juga mencintai orang yang sama denganku ? betapa bodohnya aku telah merenggut kesempurnaan Rifha. Aku bagaikan seseorang yang tak berguna bagi orang- orang yang aku sayang. Tapi aku yakin Rifha melakukan ini karena ia sayang sama aku. Dan kini, sudah saatnya ia hidup bahagia tanpa aku karena sudah ada Arda yang menemaninya. Untuk Arda orang yang aku sayang, semoga kamu juga mengerti hati Rifha. Semoga kata “Rida” itu tak berhenti sampai situ. Kalian akan bersatu kok…! Aku akan selalu tersenyum untuk kebersamaan kalian.^_^”
Kalima- kalimat itu seakan menjadi bait terindah dalam kenangan Fizha. Kisah hidupnnya begitu memilukan hingga ia harus menuliskan kata- kata yang dalam seperti demikian.
Rifhapun juga demikian. Rasa haru akan kata- kata itu seakan mengisahkan sebuah romantika cinta yang tiada habisnya untuk dikenang. Ia mengerti betapa cinta itu menginginkan sesuatu yang indah. Bukanlah sebuah rasa egois untuk memiliki.
--------^_^--------
0 komentar:
Posting Komentar